Mengenai Saya

selamat datang di blog materi kuliah kesehattan lingkungan,, blog ini berisi tentang materi-materi kuliah yang ada di jurusan kesehatan lingkungan dan bertujuan mempermudah mahasiswa kesehatan lingkungan dalam mencari materi-materi kuliah. semoga blog ini bermanfaat bagi yang membaca, khususnya bagi mahasiswa kesehatan lingkungan sendiri..

Sabtu, 01 Januari 2011

REPTILE

Binatang melata atau reptilia adalah sebuah kelompok dari hewan vertebrata. Reptilia adalah tetrapoda, dan juga amniota (hewan yang embrionya dikelilingi oleh membran amniotik). Sekarang ini mereka mewakili empat ordo:
* Ordo Crocodylia (buaya dan alligator): 23 spesies
* Ordo Rhynchocephalia (tuatara dari Selandia Baru): 2 spesies
* Ordo Squamata (kadal, ular dan amphisbaenia {"worm-lizards"}): sekitar 7.600 spesies
* Ordo Testudinata (kura-kura dan penyu): sekitar 300 spesies
Reptilia bisa ditemui di semua benua kecuali Antarktika, walaupun distribusi reptilia yang utama hanya di daerah tropis dan sub-tropis. Kecuali beberapa anggota ordo Testudines, semua reptilia memiliki cangkang


BAB I
BUAYA IRIAN
( C. Novaeguineae )


Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Animalia
Filum:
Chordata
Kelas:
Sauropsida
Ordo:
Crocodilia
Famili:
Crocodylidae
Genus:
Crocodylus
Spesies:
C. novaeguineae


Nama binomial

Crocodylus novaeguineae

A. Pengertian
Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae) adalah salah satu spesies buaya yang ditemukan menyebar di perairan tawar pedalaman pulau Irian (Papua). Bentuk umum jenis ini mirip dengan buaya muara (C. porosus), namun lebih kecil dan warna kulitnya lebih gelap.


B. Deskripsi

Panjang tubuhnya sampai sekitar 3,35 m pada yang jantan, sedangkan yang betina hingga sekitar 2,65 m. Buaya ini memiliki sisik-sisik yang relatif lebih besar daripada buaya lainnya apabila disandingkan. Di bagian belakang kepala terdapat 4–7 sisik lebar (post-occipital scutes) yang tersusun berderet melintang, terpisah agak jauh di kanan-kiri garis tengah tengkuk. Sisik-sisik besar di punggungnya (dorsal scutes) tersusun dalam 8–11 lajur dan 11–18 deret dari depan ke belakang tubuh. Sisik-sisik perutnya dalam 23–28 deret (rata-rata 25 deret) dari depan ke belakang.

C. Habitat dan kebiasaan
Reptil yang umumnya nokturnal ini menghuni wilayah pedalaman Papua yang berair tawar, di sungai-sungai, rawa dan danau. Meskipun diketahui toleran terhadap air asin, buaya ini jarang-jarang dijumpai di perairan payau, dan tak pernah ditemui di tempat di mana terdapat buaya muara.
Buaya Irian bertelur di awal musim kemarau. Rata-rata buaya betina mengeluarkan 35 butir telur, dengan jumlah maksimal sekitar 56 butir. Berat telur rata-rata 73 gram, sementara anak buaya yang baru menetas berukuran antara 26–32 cm panjangnya. Buaya betina menunggui sarang dan anak-anaknya hingga dapat mencari makanannya sendiri.

D. Catatan Taksonomi
Dari segi morfologi dan habitat, jenis ini mirip dengan jenis-jenis buaya air tawar dari Indonesia bagian barat; yakni buaya Siam (C. siamensis), buaya Mindoro (C. mindorensis), dan buaya Kalimantan (C. raninus). C. mindorensis dahulu dianggap sebagai anak jenis (subspesies) buaya Irian (sebagai C. novaeguineae mindorensis), akan tetapi kini dianggap sebagai jenis tersendiri.
Diketahui ada dua populasi buaya Irian di Papua, yang terpisah oleh pegunungan tengah. Analisis DNA memperlihatkan bahwa kedua populasi itu secara genetik berlainan. Populasi di selatan pegunungan, yang menyebar mulai dari selatan Kepala Burung hingga jazirah selatan Papua Nugini, diusulkan para ahli untuk dianggap sebagai jenis yang terpisah, yakni buaya Sahul. Buaya ini secara morfologis serupa dengan buaya Irian, kecuali bahwa sisik-sisik besar di belakang kepala (post-occipital scutes) biasanya berjumlah tiga pasang (3–6 buah), dan sisik-sisik besar di tengkuk (nuchal scutes) dipisahkan oleh sederet sisik-sisik kecil.
Buaya Sahul juga memiliki musim bertelur yang berbeda (di awal musim hujan), berat telur rata-rata yang lebih tinggi (104 gram), dan jumlah telur rata-rata yang lebih rendah (22 butir). Anak yang ditetaskan berukuran rata-rata lebih panjang, yakni antara 31–37 cm.

E. Konservasi
Buaya Irian merupakan salah satu jenis buaya yang banyak dieksploitasi untuk dimanfaatkan kulitnya. Penangkapan dari alam di Papua Nugini saja tercatat lebih dari 20 ribu ekor pertahun di antara 1977-1980, yang kemudian menyusut menjadi antara 12 ribu – 20 ribu ekor pertahun (1981–1989) dan kini turun lagi menjadi antara 3.000–5.000 ekor pertahun. Sebaliknya, pengumpulan telur dan anakan untuk kepentingan penangkaran terus meningkat, sehingga kini berbagai penangkaran di negara itu bisa menghasilkan antara 2.500–10.000 ekor buaya pertahun.[4] Mempertimbangkan tingginya tekanan terhadap populasinya di alam, Pemerintah Indonesia telah memasukkan Crocodylus novaeguineae sebagai hewan yang dilindungi oleh undang-undang, yang membatasi pemanfaatannya. Perdagangan kulit dan produk-produknya diawasi oleh CITES, yang memasukkan jenis ini ke dalam Apendiks II. Sementara IUCN memandangnya sebagai beresiko rendah (LR, lower risks) alias cukup aman, mengingat populasinya yang relatif masih tinggi dengan habitat yang luas di alam. Populasi buaya Irian liar diperkirakan antara 50 ribu hingga 100 ribu ekor, di seluruh pulau Papua.

BAB II
KURA-KURA

Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Sauropsida
Ordo : Testudinata
Linnaeus, 1758
Subordo
Cryptodira

A. Pengertian
Kura-kura dan penyu adalah hewan bersisik berkaki empat yang termasuk golongan reptil. Bangsa hewan yang disebut (ordo) Testudinata (atau Chelonians) ini khas dan mudah dikenali dengan adanya ‘rumah’ atau batok (bony shell) yang keras dan kaku.

Batok kura-kura ini terdiri dari dua bagian. Bagian atas yang menutupi punggung disebut karapas (carapace) dan bagian bawah (ventral, perut) disebut plastron. Kemudian setiap bagiannya ini terdiri dari dua lapis. Lapis luar umumnya berupa sisik-sisik besar dan keras, dan tersusun seperti genting; sementara lapis bagian dalam berupa lempeng-lempeng tulang yang tersusun rapat seperti tempurung. Perkecualian terdapat pada kelompok labi-labi (Trionychoidea) dan jenis penyu belimbing, yang lapis luarnya tiada bersisik dan digantikan lapisan kulit di bagian luar tempurung tulangnya.
B. Evolusi
Bagaimana batok kura-kura itu terbentuk dan berkembang dalam proses evolusinya, belum diperoleh keterangan yang jelas. Fosil kura-kura tertua kedua yang berasal dari Masa Trias (sekitar 210 juta tahun silam), Proganochelys, telah berbentuk mirip dengan kura-kura masa kini. Perbedaannya, tulang belulang di bagian punggung belum begitu melebar dan belum semuanya menyatu membentuk tempurung yang sempurna. Kura-kura purba hidup dan berkembang kurang lebih sejaman dengan dinosaurus. Archelon, misalnya, merupakan kura-kura raksasa yang diameter tubuhnya dapat mencapai lebih dari 4 m. Fosil kura-kura tertua yang ditemukan saat ini adalah Odontochelys yang ebrasal dari sekitar 220 juta tahun silam.
Banyak jenis kura-kura yang hidup sekarang mampu menyembunyikan kepala, kaki dan ekornya ke dalam tempurungnya, sehingga dapat menyelamatkan diri. Namun beberapa kura-kura primitif, seperti contohnya penyu, tak dapat menarik masuk anggota badannya itu.
C. Kebiasaan Hidup
Kura-kura hidup di berbagai tempat, mulai daerah gurun, padang rumput, hutan, rawa, sungai dan laut. Sebagian jenisnya hidup sepenuhnya akuatik, baik di air tawar maupun di lautan. Kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) atau campuran (omnivora).
Kura-kura tidak memiliki gigi. Akan tetapi perkerasan tulang di moncong kura-kura sanggup memotong apa saja yang menjadi makanannya.

Ukuran tubuh kura-kura bermacam-macam, ada yang kecil ada yang besar. Biasanya ditunjukkan dengan panjang karapasnya (CL, carapace length). Kura-kura terbesar adalah penyu belimbing, yang karapasnya dapat mencapai panjang 300 cm. Labi-labi terbesar adalah labi-labi irian, dengan panjang karapas sekitar 51 inci. Sementara kura-kura raksasa dari Kep. Galapagos dan Kep. Seychelles panjangnya dapat melebihi 50 inci. Sedangkan yang terkecil adalah kura-kura mini dari Afrika Selatan, yang panjang karapasnya tidak melebihi 8 cm.
Kura-kura berbiak dengan bertelur (ovipar). Sejumlah beberapa butir (pada kura-kura darat) hingga lebih dari seratus butir telur (pada beberapa jenis penyu) diletakkan setiap kali bertelur, biasanya pada lubang pasir di tepi sungai atau laut, untuk kemudian ditimbun dan dibiarkan menetas dengan bantuan panas matahari. Telur penyu menetas kurang lebih setelah dua bulan (50-70 hari) tersimpan di pasir.
Jenis kelamin anak kura-kura yang bakal lahir salah satunya ditentukan oleh suhu pasir tempat telur-telur itu tersimpan. Pada kebanyakan jenis kura-kura, suhu di atas rata-rata kebiasaan akan menghasilkan hewan betina. Dan sebaliknya, suhu di bawah rata-rata cenderung menghasilkan banyak hewan jantan.
Kura-kura termasuk salah satu jenis hewan yang berumur panjang. Reptil ini dapat hidup puluhan tahun, bahkan seekor kura-kura darat dari Kep. Seychelles tercatat hidup selama 152 tahun (1766 – 1918).


D. Keanekaragaman Jenis dan Penyebaran
Seluruhnya, diperkirakan terdapat sekitar 260 spesies kura-kura dari 12-14 suku (familia) yang masih hidup di pelbagai bagian dunia. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 45 jenis dari sekitar 7 suku kura-kura dan penyu.
Suku-suku tersebut dan beberapa contohnya:
1. Anak bangsa Pleurodira
Chelidae, kura-kura leher ular
Suku ini dinamai demikian karena kebanyakan anggotanya memiliki leher yang panjang. Karena tak dapat ditarik masuk, kepala kura-kura ini hanya dilipat menyamping di sisi tubuhnya di bawah lindungan pinggiran tempurung badannya.
Suku kura-kura leher ular menyebar terutama di Papua dan Australia serta pulau-pulau di sekitarnya, dan di Amerika Selatan. Di luar tempat-tempat tersebut ditemukan pula di Pulau Rote, Nusa Tenggara. Habitat kura-kura ini adalah perairan tawar. Beberapa jenisnya yang ada di Indonesia, di antaranya:
* Kura-kura rote (Chelodina mccordi)
* Kura-kura papua (Chelodina novaeguineae)
* Kura-kura perut putih (Elseya branderhosti)
Pelomedusidae
Seperti kerabat terdekatnya, Chelidae, anggota suku ini merupakan kura-kura air tawar. Kura-kura ini hidup di Amerika Selatan, Afrika dan Madagaskar dan tidak didapati di Indonesia.

2. Anak bangsa Cryptodira
Cheloniidae, penyu
Penyu hidup sepenuhnya akuatik di lautan. Kecuali yang betina ketika bertelur, penyu boleh dikatakan tidak pernah lagi menginjak daratan setelah dia mengenal laut semenjak menetas dahulu. Kepala, kaki dan ekor penyu tak dapat ditarik masuk ke tempurungnya. Kaki-kaki penyu yang berbentuk dayung, dan lubang hidungnya yang berada di sisi atas moncongnya, merupakan bentuk adaptasi yang sempurna untuk kehidupan laut.
Penyu tersebar luas di samudera-samudera di seluruh dunia. Dari tujuh spesies anggota suku ini, enam di antaranya ditemukan di Indonesia. Beberapa contohnya adalah:
* Penyu hijau (Chelonia mydas)
* Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
Dermochelyidae, penyu belimbing
Suku penyu ini hanya memiliki satu anggota saja, yakni penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Hidup di lautan-lautan besar hingga ke daerah dingin, penyu ini merupakan kura-kura terbesar yang masih hidup. Panjang tubuhnya (panjang karapas) dapat mencapai 3 m, meski umumnya hanya sekitar 1.5 m atau kurang, dan beratnya mendekati 1 ton.
Chelydridae
Suku ini terdiri dari kura-kura air tawar berekor panjang dan berkepala besar, yang menyebar di Amerika. Dengan perkecualian satu marga anggotanya (Platysternon) yang menyebar di Tiongkok dan Indochina. Beberapa ahli memasukkan Platysternon ke dalam suku tersendiri, Platysternidae. Tidak ada di Indonesia.
Kinosternidae
Yakni suku kura-kura air tawar kecil dari Amerika bagian tengah. Hewan yang mampu mengeluarkan bau tak enak ini tidak terdapat di Indonesia.
Dermatemyidae
Juga menyebar terbatas di Amerika Tengah. Dermatemys berukuran relatif besar dan hidup di sungai-sungai.
Carettochelyidae, labi-labi moncong babi
Suku ini hanya memiliki satu anggota yang hidup, yakni labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta). Lainnya telah punah dan hanya ditemukan dalam bentuk fosil. Labi-labi ini menyebar terbatas di Papua bagian selatan dan di Australia bagian utara.
Trionychidae, labi-lab
Menyebar luas di Amerika utara, (Eropa ?), Afrika dan Asia, ini adalah suku labi-labi yang paling banyak jenisnya. Di Australia, suku ini hanya tinggal berupa fosil. Beberapa contohnya dari Indonesia adalah:
* Bulus (Amyda cartilaginea)
* Manlai alias labi-labi bintang (Chitra chitra)
* Labi-labi hutan (Dogania subplana)
* Labi-labi irian (Pelochelys bibroni)
* Antipa, labi-labi raksasa (Pelochelys cantori)

Emydidae
Ini adalah suku kura-kura akuatik dan semi akuatik yang hidup di air tawar di Eropa, Asia dan terutama di Amerika. Emydidae merupakan salah satu suku kura-kura terbesar dari segi jumlah anggotanya. Tidak ada spesiesnya di Indonesia kecuali dalam bentuk hewan introduksi sebagai hewan peliharaan. Salah satu contohnya yang banyak dipelihara di Indonesia adalah kura-kura telinga merah (Trachemys scripta).
Geoemydidae
Merupakan suku kura-kura yang terbanyak anggotanya, Geoemydidae (dahulu disebut Bataguridae) terutama menyebar di Asia Tenggara. Di luar itu, anggota suku ini juga ditemukan di Afrika bagian utara, Erasia dan Amerika tropis. Ini adalah suku kura-kura air tawar yang terutama hidup di sungai-sungai, meskipun sering pula ditemui di daratan. Di Indonesia terdapat sekitar 11 jenisnya. Di antaranya
* Biuku (Batagur baska)
* Beluku atau tuntong (Callagur borneoensis)
* Kuya batok (Cuora amboinensis)
Testudinidae, kura-kura darat sejati
Adalah suku kura-kura darat dengan banyak anggota yang tersebar luas di seluruh dunia. Kura-kura raksasa dari Kepulauan Galapagos dan kura-kura darat berumur panjang dari Kep. Seychelles di atas termasuk ke dalam suku ini. Dua anggotanya terdapat di Indonesia:
* Baning sulawesi (Indotestudo forsteni)
* Baning coklat (Manouria emys)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar